Semar dalam Kaligrafi Jawa |
Filosofi Jawa ini bisa diartikan sebagai berikut, “Sesuatu yang ada itu jangan pernah melupakan darimana dia berasal”. Filosofi tersebut mempunyai makna yang dalam dan teramat luas. Jangan berusaha melupakan asal usulmu. Dan filosofi ini cenderung telah terlupakan bahkan oleh orang Jawa sendiri. Banyak hal yang sering saya jumpai di sekitar. Saya akan coba njelentrehke merunut dari apa yang saya tahu dan warisi. Baik dari kebudayaan yang saya warisi maupun dari agama yang saya anut.
Banyak orangtua yang memberi nama untuk anaknya dengan mengambil referensi dari negara lain, misal Arab, Inggris, Amerika, dan lain lain. Memang benar nama adalah doa. Tapi bukankah bahasa Tuhan adalah bahasa universal yang berarti mempunyai makna dari rumpun bahasa manapun? Yang bisa dimaknakan, orang bisa memberikan doa kepada anaknya lewat pemberian nama dari rumpun bahasa manapun juga. Pemberian nama Jawa sudah mulai ditinggalkan. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa nama Jawa terlalu ndeso dan wagu. Sebenarnya adalah karena orang terlalu mudah mengkultuskan kebudayaan bangsa lain-lah yang mengakibatkan orang juga mudah merendahkan kebudayaan bangsa sendiri.
Pudarnya kebudayaan berbahasa Jawa yang baik dan benar, dengan menggunakan Kromo dan Kromo Inggil. Sudah sangat jarang sekali saya jumpai orang yang pandai berbahasa jowo kromo dan jowo kromo inggil bahkan di lingkup daerahnya sendiri. Itu baru orangtua, belum yang anak dan muda mudi. Apalagi menuliskannya dalam bentuk aksara Jawa. Orangtua bahkan sistem pendidikan sekarang cenderung menitikberatkan pada bahasa Indonesia (sebab memang merupakan bahasa nasionalisme kita) dan bahasa asing (Inggris dan Arab). Tapi bahasa Jawa?
Tumpengan |
Mulai dihilangkannya ritual dalam kebudayaan Jawa seperti nyadran, kenduri, tumpengan, dan masih banyak lagi. Jika ada beberapa golongan yang menilainya sebagai sebuah bentuk kemusyrikan (keingkaran kepada Tuhan), saya cenderung menyanggah pendapat tersebut. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Kenduri adalah perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat, dan sebagainya, dengan menujukan doanya kepada Tuhan dalam kepercayaan masing-masing. Nyadran dan kenduri merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari.
Dalam konteks sosial dan budaya, keduanya dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme (Gatot Marsono).
Dalam prosesi ritual atau tradisinya kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Tumpengan adalah ritual selamatan dengan menyajikan (nasi) tumpeng sebagai makanan utamanya. Tumpeng disini bentuknya mengerucut ke atas menuju pucuk cabe yang mengandung filosofi memohon doa menuju 1 titik ialah Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa kesemuanya adalah kepunyaan Tuhan dan kepada Dia-lah kita akan kembali.
Sungguh ironis memang apabila manusia yang dilahirkan di suatu daerah namun tidak memahami bahkan cenderung melupakan kebudayaan asli dari daerah tempat dimana dia dilahirkan. Melupakan apa yang sudah dia dapatkan di daerah itu dan malah memuja kebudayaan dari tempat lain yang terkadang malah tidak sesuai dengan budaya ketimuran sendiri. Cenderung meninggalkan sejarah yang telah membentuk fisik rohani semenjak dia lahir. Melupakan sejarah yang telah membentuk kepribadian ketimuran asalnya.
Maka sudah seyogyanya kebudayaan ketimuran bangsa sendiri itu dijunjung serta diuri-uri, dilestarikan keberadaannya. Untuk apa memuja kebudayaan bangsa lain yang belum tentu itu baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah jati diri kebangsaan negeri sendiri. Yang pasti bukan menjadi bayangan saya apabila kebudayaan bangsa sendiri ini di kemudian hari menjadi hilang lenyap tergerus kebudayaan bangsa lain. Jangan sampai kebudayaan daerah yang merupakan identitas diri manusia menjadi hilang dan dianggap sudah tidak penting lagi. Semoga dengan merenung ini, kita semua bisa mengerti dan memahami filosofi dari “Kacang Ojo Lali Karo Kulite”.